LATAR BELAKANG
Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (disingkat P4) atau Eka Prasetya
Pancakarsa adalah sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila
dalam kehidupan bernegara semasa Orde
Baru.
Panduan P4 dibentuk dengan Ketetapan MPR no. II/MPR/1978. Ketetapan MPR no.
II/MPR/1978tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam
Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan
Pancasila. Saat ini produk hukum ini tidak berlaku lagi karena Ketetapan MPR
no. II/MPR/1978 telah dicabut dengan Ketetapan MPR no XVIII/MPR/1998 dan
termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai
dilaksanakan menurut Ketetapan MPR no. I/MPR/2003
Dalam
perjalanannya 36 butir pancasila dikembangkan lagi menjadi 45 butir oleh BP7.
Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar
diamalkan dalam keseharian warga Indonesia. Pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila harus
manusiawi, artinya merupakan pedoman yang memang mungkin dilaksanakan oleh
manusia biasa. Agar Pancasila dapat diamalkan secara manusiawi, maka pedoman
pengamalannya juga harusa bertolak dari kodrat manusia, khususnya dari arti dan
kedudukan manusia dengan manusia lainnya. "Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila" dinamakan "Ekaprasetia Pancakarsa".
Ekaprasetia Pancakarsa berasal dari bahasa Sansekerta. Secara harfiah
"eka" berarti satu/tunggal, "prasetia" berarti janji/tekad,
"panca" berarti lima dan "karsa" berarti kehendak yang
kuat. Dengan demikian "Ekaprasetia Pancakarsa" berarti tekad yang
tunggal untuk melaksanakan lima kehendak dalam kelima Sila Pancasila. Dikatakan
tekad yang tunggal karena tekad itu sangat kuat dan tidak tergoyahkan
lagi.Ekaprasetia Pancakarsa memberi petunjuk-petunjuk nyata dan jelas wujud
pengamalan kelima Sila dari Pancasila sebagai berikut :
a. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa
§ Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
§ Hormat menghormati dan bekerja sama
antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda,
sehingga terbina kerukunan hidup.
§ Saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
§ Tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan kepada orang lain.
b. Sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab
§ Mengakui persamaan derajat, hak dan
kewajiban antara sesama manusia.
§ Saling mencintai sesama manusia.
§ Mengembangkan sikap tenggang rasa.
§ Tidak sewenang-wenang terhadap orang
lain.
§ Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
§ Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
§ Berani membela kebenaran dan
keadilan.
§ Bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat
menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
c.
Sila Persatuan Indonesia
§ Menempatkan persatuan, kesatuan,
kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau
golongan.
§ Rela berkorban untuk kepentingan
bangsa dan negara.
§ Cinta tanah air dan bangsa.
§ Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan
ber-Tanah Air Indonesia.
§ Memajukan pergaulan demi persatuan
dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
d. Sila
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
§ Mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat.
§ Tidak memaksakan kehendak kepada
orang lain.
§ Mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
§ Musayawarah untuk mencapai mufakat
diliputi oleh semangat kekeluargaan.
§ Dengan itikad baik dan rasa tanggung
jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
§ Musyawarah dilakukan dengan akal
sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
§ Keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
e.
Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
§ Mengembangkan perbuatan-perbuatan
yang luhur yan mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
§ Bersikap adil.
§ Menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
§ Menghormatsi hak-hak orang lain.
§ Suka memberi pertolongan terhadap
orang lain.
§ Menjauhi sikap pemerasan terhadap
orang lain..
§ Tidak melakukan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum.
§ Suka bekerja keras.
§ Menghargai hasil karya orang lain.
§ Bersama-sama berusaha mewujudkan
kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
KEBIJAKAN
ASAS TUNGGAL PANCASILA
Depolitisasi
parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara
penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila
telah menjadi konsensus nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu
disosialisasikan.
Gagasan
ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974.
Kemudian
dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus
1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat agar
berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetia
bagi ikrar tersebut.
Presiden
Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa
penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai
janji yang teguh, kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita
yaitu:
- takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan;
- mencintai sesama manusia dengan selalui ingat kepada orang lain, tidak sewenangwenang;
- mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi;
- demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah;
- suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain (Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gongong ed, 2005: 159).
Presiden
kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya, pada 21 Maret 1978
rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No.II/MPR/1978.
Setelah
disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang
dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani.
Sebagai
badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang
berkedudukan di Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan
program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.
Tujuan
penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila,
sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional
akan terbentuk dan terpelihara.
Melalui
penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat
terhadap pemerintah Orde Baru.
Penataran
P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi
bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat
Indonesia. Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer
diharuskan mengikuti penataran P4.
Kemudian
para pelajar, mulai dari sekolah menengah sampai Perguruan Tinggi, juga
diharuskan mengikuti penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal tahun ajaran
atau tahun akademik.
Melalui
penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada masalah “suku”, “agama”,
“ras”, dan “antargolongan”, (Sara). Menurut pemerintah Orde baru, “sara”
merupakan masalah yang sensitif di Indonesia yang sering menjadi penyebab
timbulnya konflik atau kerusuhan sosial.
Oleh
karena itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan
dengan Sara. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam;
dengan kata lain yang lebih halus, harus mau bersikap toleran dalam arti tidak
boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan dengan masalah sara.
Meskipun
demikian, akhirnya konflik yang bermuatan sara itu tetap tidak dapat dihindari.
Pada tahun 1992 misalnya, terjadi konflik antara kaum muslim dan non muslim di
Jakarta (Ricklefs, 2005: 640).
Demikian
pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan, kritik datang dari
berbagai kalangan terhadap pelaksanaan P4.
Berdasarkan
pengamatan di lapangan banyak peserta penataran pada umumnya merasa muak
terhadap P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada Presiden agar masalah P4
ditinjau kembali.
Setelah
P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya orsospol yang diseragamkan
dalam arti harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan
organisasi, yang dikenal dengan sebutan “asas tunggal”.
Gagasan
asas tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan
Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru , Riau, tanggal 27 Maret 1980
dan dilontarkan kembali pada acara ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha
(Kopasandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980.
Gagasan
Asas Tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari berbagai
pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan militer ternama.
Meskipun
mendapat kritikan dari berbagai kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan
gagasannya itu dan membawanya ke MPR. Melalui Sidang MPR ‘Asas Tunggal”
akhirnya diterima menjadi ketetapan MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983.
Kemudian
pada 19 Januri 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan
Undang-Undang No.3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar
harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka.
Empat
bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No.8/1985 tentang ormas, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi
sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal
mereka.
Sejak
saat itu tidak ada lagi orsospol yang berasaskan lain selain Pancasila, semua
sudah seragam.. Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup “bhineka tunggal
ika”, dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan,
termasuk memenjarakan atau mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah
Orde Baru.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar